Latar belakang
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden
Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia.
Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui
Kesultanan Sulu.
Filipina dan
Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan
Federasi Malaysia apabila mayoritas di daerah yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah
referendum yang diorganisasi oleh
PBB. Tetapi, pada
16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian
Manila Accord yang dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.
Demonstrasi anti-Indonesia di
Kuala Lumpur yang berlangsung tanggal 17 September 1963, berlaku ketika para demonstran yang sedang memuncak marah terhadap Presiden Sukarno yang melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia
[7]an juga kerana serangan pasukan militer tidak resmi Indonesia terhadap Malaysia. Ini berikutan pengumuman
Menteri Luar Negeri Indonesia
Soebandrio bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada
20 Januari 1963. Selain itu pencerobohan sukarelawan Indonesia (sepertinya
pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan
sabotase pada 12 April berikutnya.
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesian yang menginjak-injak
lambang negara Indonesia[8] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama
Ganyang Malaysia.
Soekarno memproklamirkan gerakan
Ganyang Malaysia melalui pidato beliau yang amat bersejarah, berikut ini:
“ | Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu
Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.
Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.
Yoo...ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!
Soekarno. | ” |
Perang
Pada
20 Januari 1963,
Menteri Luar Negeri Indonesia
Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya
pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan
sabotase. Tanggal
3 Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
- Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
- Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Pada
27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari
Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.
Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar kedutaan Britania di
Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di
Kuala Lumpur.
Di sepanjang perbatasan di
Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki
Sarawak dan
Sabah, dengan tanpa hasil.
Pada
1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung
Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang terhadap Malaysia (
Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga).
Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu (Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12
Batalyon TNI-AD, termasuk tiga Batalyon Para dan satu batalyon
KKO. Komando ini sasaran operasinya Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen
Kemal Idris sebaga Pangkopur-I. Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di
Bengkayang,
Kalimantan Barat dan terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur
KKO,
AURI, dan
RPKAD. Komando ini dipimpin Brigjen
Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando Armada Siaga yang terdiri dari unsur
TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan
Riau dan
Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di
Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat.
Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu
Special Air Service(SAS). Tercatat sekitar 200 pasukan khusus Indonesia (
Kopassus) tewas dan 2000 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006).
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal
20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.
Pada Januari
1965,
Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3
Resimen Kerajaan Australia dan Resimen
Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti
Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat
Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada
1996.
Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di
Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak penah menginjakkan kaki lagi di bumi Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan "
Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
Akhir konfrontasi
Menjelang akhir 1965, Jendral
Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah berlangsungnya
G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada
28 Mei 1966 di sebuah konferensi di
Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada
11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian
SUMBER:Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas